Saat ini, manusia dan perekonomian dunia nyaris berhenti bergerak akibat virus korona. Tak berdaya menghadapi makhluk berukuran 80-150 nanometer. Tak tahu pasti kapan bisa bergerak leluasa kembali.
Sejarah virus korona pada manusia dimulai tahun 1965, saat DA Tyrrell dan ML Bynoe dari Rumah Sakit Harvard, Inggris, mengisolasi virus dari saluran pernapasan orang dewasa dengan flu biasa. Pada waktu bersamaan dan setelah itu, para peneliti lain mendapatkan virus-virus dengan karakteristik mirip dari orang-orang yang kena flu.
Akhir 1960-an, Tyrrell memimpin sekelompok ahli virologi meneliti strain virus pada manusia dan sejumlah binatang. Virus itu, antara lain, virus bronkitis, virus hepatitis pada tikus, virus penyebab radang lambung pada babi. Semua virus itu secara morfologi mirip jika dilihat dengan mikroskop elektron. Kelompok virus tersebut lantas dinamakan virus korona berdasarkan bentuk permukaan yang mirip mahkota. Belakangan, korona resmi diterima sebagai genus baru virus.
Kajian Jeffrey S Kahn dan Kenneth McIntosh yang dimuat di the Pediatric Infectious Disease Journal, November 2005, menyatakan, korona menimbulkan infeksi saluran pernapasan berupa pneumonia pada bayi dan anak. Virus itu juga memicu asma pada anak-anak dan orang dewasa serta infeksi saluran pernapasan parah pada orang lanjut usia.
Selain pada manusia, kemajuan penelitian ragam virus korona pada hewan juga meningkat pesat. Virus diketahui menimbulkan berbagai penyakit pada hewan, seperti tikus, ayam, kalkun, anak sapi, anjing, kucing, kelinci, dan babi.
Virus-virus itu ada yang hanya beredar pada populasi hewan, tapi ada yang menular ke manusia. Karena itu, korona kemudian dikenal sebagai virus zoonotik atau bisa menular dari hewan ke manusia.
Menjadi wabah
Tidak mengherankan, penyebab sindrom pernapasan akut parah (severe acute respiratory syndrome/SARS) tahun 2002-2003 di China selatan adalah virus korona yang berasal dari hewan. Epidemi SARS dilaporkan sedikitnya di 26 negara di Asia, Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Selatan.
Laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, virus korona SARS (SARS-CoV) yang diidentifikasi pada 2003 diyakini dari hewan. Sumbernya diperkirakan kelelawar yang menular ke luwak lantas menginfeksi manusia pertama kali di Provinsi Guangdong, China, pada 2002.
Gejala SARS mirip influenza, seperti demam, menggigil, lemah, nyeri otot, sakit kepala. Batuk kering, napas pendek, dan diare tampak pada minggu pertama dan kedua, kemudian menjadi parah secara cepat sehingga perlu perawatan intensif.Sejarah Panjang Virus Korona
Virus korona punya sejarah panjang. Semula, virus ini teridentifikasi dari penderita flu biasa. Belakangan, virus makin ganas, menimbulkan penyakit parah, karena lompatan virus korona hewan ke manusia.
Saat ini, manusia dan perekonomian dunia nyaris berhenti bergerak akibat virus korona. Tak berdaya menghadapi makhluk berukuran 80-150 nanometer. Tak tahu pasti kapan bisa bergerak leluasa kembali.
Sejarah virus korona pada manusia dimulai tahun 1965, saat DA Tyrrell dan ML Bynoe dari Rumah Sakit Harvard, Inggris, mengisolasi virus dari saluran pernapasan orang dewasa dengan flu biasa. Pada waktu bersamaan dan setelah itu, para peneliti lain mendapatkan virus-virus dengan karakteristik mirip dari orang-orang yang kena flu.
Akhir 1960-an, Tyrrell memimpin sekelompok ahli virologi meneliti strain virus pada manusia dan sejumlah binatang. Virus itu, antara lain, virus bronkitis, virus hepatitis pada tikus, virus penyebab radang lambung pada babi. Semua virus itu secara morfologi mirip jika dilihat dengan mikroskop elektron. Kelompok virus tersebut lantas dinamakan virus korona berdasarkan bentuk permukaan yang mirip mahkota. Belakangan, korona resmi diterima sebagai genus baru virus.
Kajian Jeffrey S Kahn dan Kenneth McIntosh yang dimuat di the Pediatric Infectious Disease Journal, November 2005, menyatakan, korona menimbulkan infeksi saluran pernapasan berupa pneumonia pada bayi dan anak. Virus itu juga memicu asma pada anak-anak dan orang dewasa serta infeksi saluran pernapasan parah pada orang lanjut usia.
Selain pada manusia, kemajuan penelitian ragam virus korona pada hewan juga meningkat pesat. Virus diketahui menimbulkan berbagai penyakit pada hewan, seperti tikus, ayam, kalkun, anak sapi, anjing, kucing, kelinci, dan babi.
Virus-virus itu ada yang hanya beredar pada populasi hewan, tapi ada yang menular ke manusia. Karena itu, korona kemudian dikenal sebagai virus zoonotik atau bisa menular dari hewan ke manusia.
Menjadi wabah
Tidak mengherankan, penyebab sindrom pernapasan akut parah (severe acute respiratory syndrome/SARS) tahun 2002-2003 di China selatan adalah virus korona yang berasal dari hewan. Epidemi SARS dilaporkan sedikitnya di 26 negara di Asia, Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Selatan.
Laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, virus korona SARS (SARS-CoV) yang diidentifikasi pada 2003 diyakini dari hewan. Sumbernya diperkirakan kelelawar yang menular ke luwak lantas menginfeksi manusia pertama kali di Provinsi Guangdong, China, pada 2002.
Gejala SARS mirip influenza, seperti demam, menggigil, lemah, nyeri otot, sakit kepala. Batuk kering, napas pendek, dan diare tampak pada minggu pertama dan kedua, kemudian menjadi parah secara cepat sehingga perlu perawatan intensif.
Penularan virus dari manusia ke manusia lewat percikan cairan bersin dan batuk serta tinja umumnya terjadi di fasilitas kesehatan. Setelah dilakukan penerapan pengendalian infeksi yang tepat, akhirnya wabah SARS mereda.
Gelombang wabah virus korona berikutnya adalah Sindrom Pernapasan Timur Tengah (Middle East respiratory syndrome/MERS). Penyakit yang disebabkan virus MERS‐CoV ini diindetifikasi di Arab Saudi tahun 2012. Sumber virus ini adalah unta. Belum dipastikan rute penularan dari unta ke manusia. Yang pasti, wabah terjadi akibat penularan dari manusia ke manusia di fasilitas kesehatan.
Orang yang terinfeksi bisa tanpa gejala, tapi ada yang batuk ringan, demam, napas pendek, hingga gangguan pernapasan akut parah yang perlu ventilator, bahkan kematian. Diare dan pneumonia juga dilaporkan.
Virus ini umumnya menyebabkan penyakit parah pada orang lanjut usia, orang dengan kekebalan tubuh lemah, serta yang memiliki penyakit kronis seperti gangguan ginjal, kanker, gangguan paru, dan diabetes.
Sejak September 2012, ada 27 negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika, melaporkan kasus MERS. Wabah besar terjadi di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Korea Selatan. Meski wabah sudah berhenti, kasus MERS masih terus terjadi. Hingga kini dilaporkan ada 2.494 kasus positif MERS dengan 858 kematian.
Korona baru
Wabah terbaru virus korona terjadi sejak akhir tahun 2019, bermula di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Virus diduga bersumber dari kelelawar yang menular ke hewan lain sebelum ”melompat” ke manusia.
Meski bentuknya mirip, virus ini memiliki perbedaan karakter sehingga dinamakan SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 (penyakit akibat virus korona 2019).
Sebagaimana infeksi korona lain, tampilan klinisnya dari tanpa gejala, gangguan pernapasan ringan, pnumonia sampai gangguan pernapasan parah, gagal ginjal serta kematian. Penularan juga lewat percikan cairan dari bersin dan batuk. Masa inkubasi sekitar 2-14 hari, rata-rata gejala tampak pada hari ke-5.
Berbeda dengan SARS dan MERS yang menular saat penyakit mulai parah, pada Covid-19 orang sudah bisa menularkan pada tiga hari pertama kena virus.
Namun, berbeda dengan SARS dan MERS yang menular saat penyakit mulai parah, pada Covid-19 orang sudah bisa menularkan pada tiga hari pertama kena virus. Akibatnya, laju penularan Covid-19 sangat tinggi. Jika SARS sekitar 3, MERS kurang dari 1, laju penularan Covid-19 adalah 1,4-2,5.
Pengendalian wabah sangat tergantung dari kewaspadaan, kesigapan dan kesiapan infrastruktur kesehatan sejak dari manajemen pemerintah pusat dan daerah dalam menerapkan upaya kesehatan masyarakat, hingga ke fasilitas dan tenaga kesehatan dalam merawat penderita. Dunia telah menjadi satu kesatuan akibat tingginya mobilitas manusia dan barang. Karena itu, tidak ada lagi penyakit negara lain, kita semua bisa terkena.
Hal lain, kita harus melakukan tugas utama manusia, yakni menjaga keseimbangan alam. Dengan mengonsumsi segala sesuatu secukupnya, makan hanya yang benar-benar aman dan sehat. Dengan demikian, bisa mengurangi kemungkinan lompatan virus dari hewan liar ke manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar